Berikut ini resume materi tentang Bimbingan dan Konseling untuk mata kuliah Psikologi Pendidikan pada hari Rabu tanggal 7 Juni 2017 oleh dosen ibu Sri Supriyantini
Bimbingan dan Konseling
Pengertian BIMBINGAN menurut para ahli :
- Menurut Miller (1961) menyatakan bahwa bimbingan merupakan proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum kepada sekolah (dalam hal ini termasuk madarasah), keluarga, dan masyarakat.
- Menurut Prayitno & Erman Amti (1994:99) Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang-orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku
- Menurut Bimo Walgito (1982 : 11) bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang di berikan kepada individu atau sekumpulan individu-individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan di dalam kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu-individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya.
- Menurut Rochman Natawidjaja (1981) Bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta masyarakat. Dengan demikian dia dapat mengecap kebahagiaan hidupnya serta dapat memberikan sumbangan yang berarti (Winkel & Sri Hastuti 2007:29).
- Menurut Miller (1961) menyatakan bahwa bimbingan merupakan proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri dan pengarahan diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum kepada sekolah (dalam hal ini termasuk madarasah), keluarga, dan masyarakat.
- Menurut Prayitno & Erman Amti (1994:99) Bimbingan adalah proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh orang yang ahli kepada seseorang atau beberapa orang individu, baik anak-anak, remaja, maupun dewasa agar orang-orang yang dibimbing dapat mengembangkan kemampuan dirinya sendiri dan mandiri, dengan memanfaatkan kekuatan individu dan sarana yang ada dan dapat dikembangkan berdasarkan norma-norma yang berlaku
- Menurut Bimo Walgito (1982 : 11) bimbingan adalah bantuan atau pertolongan yang di berikan kepada individu atau sekumpulan individu-individu dalam menghindari atau mengatasi kesulitan di dalam kehidupannya, agar individu atau sekumpulan individu-individu itu dapat mencapai kesejahteraan hidupnya.
- Menurut Rochman Natawidjaja (1981) Bimbingan adalah proses pemberian bantuan kepada individu yang dilakukan secara berkesinambungan, supaya individu tersebut dapat memahami dirinya, sehingga ia sanggup mengarahkan diri dan dapat bertindak wajar, sesuai dengan tuntutan dan keadaan keluarga serta masyarakat. Dengan demikian dia dapat mengecap kebahagiaan hidupnya serta dapat memberikan sumbangan yang berarti (Winkel & Sri Hastuti 2007:29).
sedangkan pengertian KONSELING menurut para ahli :
- Menurut Bimo Walgito (1982:11) menyatakan bahwa konseling adalah bantuan yang diberikan kepada individhu dalam memecahkan masalah kehidupanya dengan wawancara, dengan cara yang sesuai dengan keadaan individhu yang dihadapinya unuk mencapai hidupnya.) dan menyetir (to steer). Beberapa ahli menyatakan bahwa konseling merupakan inti atau jantung hati dari kegiatan bimbingan. Ada pula yang menyatakan bahwa konseling merupakan salah atu jenis layanan bimbingan
- Menurut Smith,dalam Shertzer & Stone,1974 , konseling merupakan suatu proses dimana konselor membantu konselor membuat interprestasi – interprestasi tetang fakta-fakta yang berhubungan dengn pilihan,rencana,atau penyesuaian-penyesuaian yang perlu dibuat
- Menurut Berdnard & Fullmer ,1969, Konseling meliputi pemahaman dan hubungan individu untuk mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan,motivasi,dan potensi-potensi yang yang unik dari individu dan membantu individu yang bersangkutan untuk mengapresiasikan ketige hal tersebut.
- Menurut James P. Adam yang dikutip oleh Depdikbud (1976; 19) Konseling adalah suatu pertalian timbal balik antara dua orang individu antara seorang (konselor) membantu yang lain (konseli) supaya dia dapat lebih baik memahami dirinya dalam hubunganya dengan masalah hidup yang dihadapinya pada waktu itu dan pada waktu yang akan datang.
A. Pengertian Landasan Psikologis dalam Bimbingan dan Konseling
Di dalam kamus besar bahasa Indonesia, landasan dapat berarti bantalan,
dasar atau bisa juga berarti tumpuan. Sementara psikologis berasal dari
kata psychology adalah sebuah cabang ilmu pengetahuan yang mempelajari
tingkah laku, baik tingkah laku manusia maupun hewan. Diterangkan lebih
lanjut oleh J. P. Chaplin menjelaskan bahwa tingkah laku manusia secara
individu bersifat jelas/terbuka namun kadang kala bersifat
tersembunyi/samar-samar. Tingkah laku baik yang tersembunyi maupun yang
terbuka, yang sederhana maupun yang kompleks, rasional maupun
irrasional, dapat dipelajari dalam psikologi. Sehingga yang dimaksud
dengan landasan psikologis dalam bimbingan dan konseling adalah sebuah
acuan atau pedoman secara psikologis untuk memberikan gambaran kepada
konselor terkait dengan sifat-sifat manusia, hasrat, harapan, ketakutan,
kemampuan, bakat serta keterbatasan yang dimikili individu sebagai
konseli.
Jika dikaitkan dengan ranah pendidikan di sekolah, yang menjadi sasaran
bidang bimbingan dan konseling yaitu peserta didik. Dimana peserta didik
memiliki karakter masing-masing yang berbeda satu sama lain, di samping
itu peserta didik tersebut merupakan pribadi-pribadi yang sedang dalam
proses perkembangan menuju kematangan psikis, seperti dalam perkembangan
kematangan secara emosi, sikap, intelektual, sosiabilitas serta
aspek-aspek lain. Menurut Syamsu Yusuf dan Juntika dalam landasan
bimbingan dan konseling bahwa peserta didik adalah sebagai individu yang
berkembang secara dinamis memiliki kebutuhan dan dinamika dalam
interaksi dengan lingkungannya. Peserta didik juga merupakan individu
yang senantiasa mengalami berbagai perubahan dalam sikap dan tingkah
lakunya.
Maka agar perkembangan peserta didik dapat berlangsung dengan baik
sesuai dengan yang diharapkan dan terhindar dari munculnya
masalah-masalah secara psikologis, peserta didik perlu diberikan bantuan
yang bersifat pribadi. Selain itu, konselor dapat memberikan pemahaman
tentang tingkah laku individu yang menjadi sasaran layanan. Hal ini
diperlukan karena ruang lingkup bimbingan dan konseling adalah ruang
lingkup konseli, yang perlu diubah atau dikembangkan. Tingkah laku
individu tidak terjadi dalam keadaan kosong, melainkan mengandung latar
belakang, latar depan, sangkut paut dan isi tertentu. Tingkah laku
berlangsung dalam lingkungan tertentu yang di dalamnya terdapat unsur
waktu, tempat, dan berbagai kondisi lain. Tingkah laku merupakan
perwujudan hasil interaksi antara keadaan intern dan ekstern. Karena
itulah psikologis menjadi salah satu landasan yang digunakan dalam
konseling.
B. Aspek-aspek Landasan Psikologis dalam Bimbingan dan Konseling
Adapun aspek-aspek yang psikologis sebagai landasan dalam bimbingan dan
konseling menurut Prayitno adalah sebagai berikut: Adanya motif dan
motivasi, aspek pembawaan dan lingkungan, aspek perkembangan individu,
aspek belajar, balikan dan penguatan serta aspek kepribadian individu.
1. Motif dan motivasi
Salah satu aspek psikis yang penting diketahui adalah motif, karena
keberadaannya sangat berperan dalam tingkah laku individu. Pada dasarnya
tidak ada tingkah laku yang tanpa motif, artinya setiap tingkah laku
individu itu bermotif. Sigmund Freud mengartikan motif sebagai energi
dasar (instink) yang mendorong tingkah laku individu.
Selanjutnya Freud membagi dorongan dasar tersebut menjadi dua, yaitu;
dorongan dasar kehidupan yang terdiri dari libido atau seksual yang
mendorong individu untuk mempertahankan keturunannya. Dan yang kedua
adalah dorongan dasar agresif, yaitu yang mendorong perilaku agresif
seseorang. Sementara Sartai mengartikan motif sebagai suatu keadaan yang
komplek di dalam diri organisme atau individu yang mengarahkan
perilakunya kepada suatu jutuan tertentu. J. P. Chaplin mengemukakan,
bahwa motif itu adalah satu kekuatan dalam diri individu yang
melahirkan, memelihara dan mengarahkan perilaku kepada suatu tujuan.
Dari beberapa pendapat di atas terkait dengan motif, kemudian penulis
dapat menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan motif adalah adalah suatu
dorongan yang dapat menggerakan seseorang dalam bertingkah laku.
Dorongan tersebut yang menggerakan seseorang untuk melakukan sesuatu
sesuai dengan apa yang terkandung dalam dorongan itu.
Syamsu Yusuf juga membagi motif menjadi dua, yaitu; motif primer dan motif sekunder, yang dijabarkan sebagai berikut:
a. Motif primer
Yang dimaksud dengan motif primer adalah motif yang didasari oleh
kebutuhan dasar. Motif ini merujuk kepada motif yang tidak dipelajari
atau lebih bersifat naluriah. Motif primer ini meliputi:
1) Dorongan
fisiologis, motif ini besumber pada kebutuhan organis, seperti:
Dorongan untuk makan, minum, bernafas, mengembangkan keturunan,
beristirahat, bergerak, dan sebagainya.
2) Dorongan umum meliputi: Perasaan takut, kasih sayang, ingin tahu, menyerang, berusaha, dan mengejar.
b. Motif sekunder
Motif sekunder adalah kebalikan dari motif primer, yang mana motif
sekunder ini muncul karena hasil dari belajar, terbentuk bersamaan
dengan proses perkembangan individu yang bersangkutan. Motif ini disebut
juga motif yang diisaratkan secara sosial, karena manusia hidup dalam
lingkungan sosial dengan sesama manusia sehingga motif ini disebut juga
motif sosial.
Di dalam perkembangannya motif ini dipengaruhi oleh tingkat peradaban,
adat istiadat dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat tempat
individu itu berada. Kedalam golongan ini teramasuk, antar lain:
1) Dorongan untuk belajar ilmu pengetahuan
2) Dorongan untuk mengejar suatu kedudukan
3) Dorongan berprestasi
4) Motif-motif objektif (eksplorasi, manipulasi dan menaruh minat)
5) Dorongan ingin diterima, dihargai, persetujuan, merasa aman
6) Dorongan untuk dikenal
Pengelompokan motif berdasarkan kaitan antara motif dan objek tingkah
laku menurut Santrok yang dikutip oleh Agoes Dariyo, dibagi menjadi dua,
yaitu; Motif internal yaitu motif yang berasal dari dalam diri
individu yang bersangkutan; sedang motif eksternal yaitu motif yang
berasal dari luar individu. Seseorang yang memiliki motif internal
cenderung lebih mampu bertahan dalam melakukan suatu kegiatan tertentu,
dibandingkan bila seseorang memiliki motif eksternal. Bila dorongan yang
berasal dari luar (eksternal) hilang atau sudah tidak ada lagi, maka
seseorang yang bermotif eksternal cenderung memiliki daya dorong yang
lemah dan tidak tergerak lagi untuk mencapai sesuatu. Namun bila
seseorang yang memiliki dorongan internal tidak akan terpengaruh ada
atau tidak adanya suatu stimulasi yang berasal dari lingkungan luar
(eksternal). Meskipun tidak ada stimulasi eksternal, seseorang yang
memiliki dorongan internal akan tetap tergerak untuk melakukan sesuatu
agar dapat mencapai tujuan hidupnya, meskipun tidak ada dorongan
eksternal.
2. Pembawaan dan lingkungan
Setiap individu dilahirkan ke dunia dengan membawa kondisi mental fisik
tertentu. Apa yang dibawa sejak lahir itu sering disebut pembawaan.
Dalam artinya yang luas pembawaan meliputi berbagai hal, seperti warna
kulit, bentuk dan warna rambut, golongan darah, kecenderungan
pertumbuhan fisik, minat, bakat khusus, kecerdasan ciri-ciri kepribadian
tertentu.
Kondisi yang menjadi pembawaan itu selanjutnya akan terus tumbuh dan
berkembang. Namun pertumbuhan dan perkembangan itu tidak dapat terjadi
dengan sendirinya. Untuk dapat tumbuh dan berkembangnya, apa-apa yang
dibawa sejak lahir itu, diperlukan prasarana dan sarana yang semuanya
berada dalam lingkungan individu yang bersangkutan. Optimalisasi hasil
pertumbuhan dan perkembangan isi pembawaan itu amat tergantung pada
tersedia dan dinamika prasarana serta sarana yang ada di lingkungan itu.
Adapun menurut para ahli, secara umum penulis menemukan tiga
pendekatan populer, yaitu:
a. Aliran Navitisme
Navitisme adalah sebuah doktrin filosofis yang berpengaruh besar
terhadap aliran pemikiran psikologis. Tokoh utama aliran ini adalah
Arthur Schopenaur (1788-1860) seorang filosof Jerman. Aliran ini
disebut juga disebut dengan aliran pesimistis, karena berkeyakinan
bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh pembawaannya sedang
pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh apa-apa, yang dalam
istilah pendidikan disebut dengan “pesimisme pedagogis”.
Schopenhauer berpendapat bahwa bayi itu lahir sudah dengan
pembawaan baik dan pembawaan buruk. Oleh karen itu menurut bahwa hasil
akhir pendidikan ditentukan oleh pembawaan yang dibawa lahir.
Maka berdasarkan pandangan ini, keberhasilan suatu pendidikan
ditentukan oleh anak didik itu sendiri.
Penganut pandangan navitisme juga berpandangan bahwa lingkungan sekitar
tidak berarti sama sekali. Karena lingkungan tidak berdaya
dalam mempengaruhi perkembangan anak. Penganut paham ini menyatakan
bahwa kalau anak mempunyai pembawaan jahat maka dia akan menjadi
jahat, begitu juga sebaliknya. Pembawaan baik dan buruk ini
tidak dapat diubah oleh kekuatan dari luar.
b. Aliran Empirisme
Aliran Empirisme merupakan kebalikan dari aliran nativisme, yang
berpendapat bahwa perkembangan anak tergantung kepada
kingkungannya, sedangkan faktor pembawaan tidak berpengaruh dan
dipentingkan karena waktu anak lahir bagaikan kertas putih yang
bersih yang belum ditulis dengan sesuatu apapun.
Tokoh aliran ini adalah John Locke (1632-1704). Nama asli aliran ini
adalah “the School of Brithis Empiricism” (aliran emperisme
Inggris). Namun aliran ini lebih berpengaruh terhadap para pemikir
Amerika Serikat, sehingga melahirkan sebuah aliran berfilsafat bernama
enviromental Psychology (pisikologi lingkunagan) yang relaif masih
baru.
Doktrin aliran emperisme yang amat masyhur adalah “tabula rasa”
yang berasal dari bahasa latin yang artinya batu tulis kosong
atau lembaran kosong (blank slate/blank tableta). Doktrin tabula
rasa menekankan arti penting pengalaman, lingkungan dan
pendidikannya, sedangkan bakat dan pembawaan sejak lahir dianggap
tidak ada pengaruhnya.
Menurut emperisme para pendidik akan menjadikan lingkungan yang
dikehendakinya. Lingkungangan pendidikan itu kemudian akan
disajikan kepada anak dan akan diterima oleh anak sebagai
pengalaman-pengalaman. Pengalaman-pengalaman yang diterima oleh
anak-anak akan dapat membentuk tingkah laku, sikap dan
nilai-nilai yang disesuaikan dengan yang diinginkan oleh tujuan
pendidikan.
c. Aliran Konvergensi
Aliran konvergensi adalah aliran yang menggabungkan antara aliran
empirisme dan aliran nativisme. Aliran ini dipelopori oleh Wiliam
Stern (1871-1938) seorang filsof dan fsikolog Jerman. Para
penganut aliran berkeyakinan bahwa dalam proses perkembangan
anak, baik faktor heriditas maupun lingkungan sama-sama punya
andil yang signifikan. Bakat yang dibawa oleh anak tidak akan
berkembang dengan baik tanpa dukungan lingkungan yang sesuai
untuk perkembangan itu. Begitu juga sebaliknya, lingkungan yang
baik tidak dapat menghasilkan perkembangan anak yang optimal kalau
memang pada diri anak tidak terdapat bakat yang diperlukan untuk
mengembangkan kemampuan yang diharapkan.
Berdasarkan ajaran aliran konvergensi ini, William Stern membuat
suatu kesimpulan, bahwa hasil pendidikan itu tergantung dari
pembawaan dan lingkungan, dan digambarkan seperti dua garis yang
bertemu pada titik.7 Pada dasarnya memang sukar untuk dikatakan, pada
usia berapa tepatnya anak matang untuk pendidikan dasar, karena
persoalan kematangan ini tidak ditentukan oleh faktor usia atau umur
semata namun ada juga faktor-faktor lain yang sangat berperan
dalam menentukan kematangan tersebut.
3. Perkembangan individu
Sejak masa konsepsi dalam rahim ibu bakal individu yang telah
ditakdirkan ada itu berkembang menjadi janin, janin menjadi bayi, bayi
lahir kedunia. Secara umum, proses dapat bermakna sebagai runtutan
perubahan (peristiwa) yang terjadi dalam perkembangan sesuatu. Jika
dikaitkan dengan proses perkembangan peserta didik, maka
pengertiannya adalah berupa tahapan-tahapan perubahan yang dialami
oleh seorang peserta didik, baik perubahan jasmaniah maupun
rohaniah. Proses dalam hal ini jika berarti tahapan perubahann
tingkah laku peserta didik, baik yang terbuka maupun yang
tertutup dan proses juga bisa berarti cara terjadinya perubahan
dalam diri peserta didik atau respon yang ditimbulkan oleh
peserta didik tersebut.
Muhibin Syah dalam bukunya pisikologi pendidikan mengemukakan
bahwa proses perekmbangan individu sampai terjadi person (dirinya
sendiri) berlangsung dalam tiga tahapan yaitu: Tahapan Proses konsepsi
(pembuahan sel ovum ibu oleh sel sperma ayah), tahapan proses
kelahiran, tahapan proses perkembangan individu bayi tersebut
menjadi seorang pribadi yang khas (development or selfhood).
Sedangkan Lester D. Crow dalam bukunya Human Development dan
Learning, mengemukakan bahwa ada tiga proses perkembangan yaitu
Childhood, Maturity dan adulthood. Childhood yaitu masa yang
mencakup masa kandungan, masa kelahiran, masa bayi, masa
kanak-kanak, dan masa sekolah. Maturity, adalah suatu proses
perkembangan ketika seseorang mengalami kematangan sebelum ia
memasuki masa kedewasaannya. Kematangan fungsi jasmaniyah akan
mempengaruhi perubahan fungsi-fungsi kejiwaan. Sedangkan Atulthood
adalah masa memasuki kedewasaan. Karena masa itu mencakup waktu
yang lama sekali maka dapat dibagi menjadi tiga yaitu masa
awal kedewasaan, masa pertengahan kedewasaan dan masa akhir kedewasaan
atau usia lanjut.
Masing-masing aspek perkembangan, seperti perkembangan kognitif/
kecerdasan, bahasa, moral, hubungan sosial, fisik, kemampuan motorik
memiliki tahap-tahap perkembangannya sendiri. Di samping itu hukum-hukum
perkembangan berlaku bagi perkembangan segenap aspek itu secara
menyeluruh, termasuk di dalamnya peranan faktor-faktor pembawaan dan
lingkungan. Meskipun masing-masing aspek perkembangan cenderung
memperlihatkan caranya sendiri, namun aspek-aspek itu saling terkait.
Dalam satu tahap perkembangan tertentu berkembanglah berbagai aspek
tersebut dan pada umumnya saling terkait.
4. Belajar, Balikan, dan Penguatan
Di dalam proses pendidikan, belajar merupakan kegiatan inti. Karena
pendidikan itu sendiri dapat diartikan sebagai bantuan perkembangan
melalui kegiatan belajar. Secara psikologis belajar juga dapat diartikan
sebagai proses memperoleh perubahan terhadap tingkah laku.
Belajar adalah upaya untuk menguasai sesuatu yang baru dengan
memanfaatkan apa yang sudah ada pada diri individu. Hal-hal yang perlu
diperhatikan: Pertama, terjadinya perubahan dan tercapainya sesuatu yang
baru pada diri individu itu tidak berlangsung dengan sendirinya,
melainkan harus diupayakan. Jika perubahan atau sesuatu yang baru
terjadi pada individu tersebut tanpa disengaja atau diupayakan, maka
perubahan atau sesuatu yang baru itu bukanlah hasil belajar, melainkan
suatu yang berlangsung secara kebetulan atau hasil pertumbuhan/
perkembangan yang berupa kematangan.
Kedua, proses belajar terjadi pada suatu kondisi tertentu. Untuk
terjadinya proses belajar diperlukan prasyarat, berupa hasil kematangan
ataupun hasil belajar yang terdahulu. Misalnya, apabila seorang anak
hendak belajar berhitung, terlebih dahulu ia harus memahami tentang
konsep tentang angka sebagai prasyarat belajar berhitung itu.
Ketiga, hasil belajar yang diharapkan adalah sesuatu yang baru, baik
dalam kawasan kognitif, afektif, konotatif, maupun
psikomotoris/keterampilan. Hasil yang merupakan sesuatu yang baru akan
memberikan nilai tambah bagi individu yang belajar.
Keempat, kegiatan belajar seringkali memerlukan sejumlah sarana, baik
peralatan(berupa buku, alat-alat latihan, alat-alat peraga, peralatan
elektronik, peralatan komunikasi, dan berbagai alat bantu belajar
lainnya) maupun suasana hati dan hubungan sosio-emosional. Suasana hati
dan hubungan sosio-emosional yang kondusif, sehingga tidak ada sesuatu
yang menghambat, melainkan mendorong berlangsungnya perbuatan belajar,
akan lebih memungkinkan lagi tercapainya hasil belajar yang diinginkan.
Kelima, hasil yang diperoleh dari kegiatan belajar hendaknya dapat
diketahui atau diukur, baik oleh individu yang belajar maupun oleh orang
lain. Pengetahuan tentang hasil belajar merupakan balikana bagi
individu yang belajar, terutama tentang seberapa jauh kesuksesannya
dalam upaya belajar itu. Adanya balikan seperti itu sangat diperlukan
oleh individu yang belajar agar ia dapat mengadakan perhitungan tentang
upaya belajar yang dilaksanakannya itu dan hasil-hasilnya serta upaya
kelanjutannya.
Keenam, upaya belajar merupakan upaya yang berkesinambungan. Kegitan
belajar tidak terbatas oleh waktu, tempat, keadaan, dan objek yang
dipelajari, ataupun oleh usia. Upaya belajar dikehendaki berlangsung
terus-menerus, sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan individu
yang bersangkutan. Untuk itu diperlukan penguatan (reinforcement).
Apabila penguatan itu sering dilakukan, maka individu yang diberikan
penguatan itu akan melanjutkan atau bahkan meningkatkan upaya
belajarnya, sampai ia memiliki kebiasaan belajar yang baik.
Pemberian penguatan dilakukan memakai pernyataan berkenaan dengan
hal-hal positif yang ada pada diri individu, khususnya berkenaan dengan
kegiatan belajarnya itu; misalnya pernyataan tentang motivasi belajarnya
cukup tinggi, hasil belajarnya bagus, caranya menjawab soal-soal
cermat, bahasanya lancer, pekerjaannya rapi, dan sebagainya. Dengan
pernyataan positif itu diharapkan mendorong tumbuhnya rasa puas, rasa
diri mampu bekerja dan mampu menghasilkan sesuatu yang berguna, sehingga
ia terdorong untuk mengulangi kegiatan tersebut. Apabila hal itu
terjadi maka upaya pemberian penguatan menampakkan hasilnya.
Para konselor perlu mengenal dan memahami teori-teori belajar yang telah
dikembangkan oleh para ahli seperti, teori pembiasaan dan keterpaduan
(conditioning dan connectionism theories), teori gestalt (gestalt
theories), teori perkembangan kognisi (cognitive development theories),
teori proses informasi (informating processing theories), proses
peniruan (social learning theory). Hal tersebut dilakukan dalam upaya
pengembangan kegiatan belajar konseli.
5. Kepribadian
Sering dikatakan bahwa ciri seseorang adalah kepribadiannya. Dalam
psikologi, kepribadian masih sulit dicapai. Pengertian kepribadian
menurut beberapa ahli psikologi, umumnya terpusat pada faktor fisik dan
genetika, berpikir dan pengamatan, serta dinamika motivasi dan perasaan.
Menurut Wiggins, Renner, Clore, dan Rose (1976), mengupas tentang
kepribadian dengan melihat hakikat tingkah laku dan perkembangannya
secara menyeluruh. Menurut Hothersall (1985), mencoba merumuskan
kepribadian sebagai “predis posisi cara mereaksi yang secara relatif
stabil pada diri individu”, sehingga dapat di pahami kepribadian
individu sangat kompleks. Konselor perlu memahami kompleksitas
kepribadian konseli disamping mampu memilah-milah ciri-ciri yang dapat
diukur. Tugas konselor mengoptimalkan perkembangan dan pendayagunaan
predisposisi ataupun ciri kepribadian individu kearah hal-hal positif
sesuai tingkat perkembangan dan kebutuhan individu yang bersangkutan.
C. Implementasi Psikologi dalam Bimbingan dan Konseling
Bimbingan dan konseling merupakan salah satu bidang profesi psikologi
diterapkan dalam refleksi psikologi umum pada umumnya mempelajari
sifat-sifat manusia, artinya persamaan-persamaannya dari manusia dewasa,
yang normal dan beradab. Psikologi khusus menyelidiki sifat-sifat yang
berbeda pada manusia, seperti berbeda umur, kelamin, lapangan hidup dan
lain-lain. Psikologi banyak memberikan sumbangan dan manfaat yang
berarti pada bidang-bidang profesi lain.
Dapat mengambil kesimpulan bahwa didalam bimbingan dan konseling adanya
pendekatan-pendekatan yang berhubungan dengan psikologis, sehingga tidak
heran jika didalam konseling menemui hal-hal yang berkaitan dengan
psikologis. Aspek yang biasa dijumpai dalam proses konseling seperti
aspek kognitif, emosi, perkembangan dan sebagainya. Di dalam
konselingpun terdapat komponen atau unsur guna terciptanya tujuan dan
proses yang baik. Dalam pelaksanaan konseling tidak bisa dilakukan
dengan menggunakan cara secapat-cepatnya melainkan dengan tahap-tahap
dan teori yang baik.
Setiap upaya yang dilakukan dalan bimbingan dan konseling tidak lain
sebagai upaya membantu konseli untuk memahami dirinya dan lingkungannya
agar dapat melakukan penyesuaian dengan optimal. Setelah dilakukannya
Proses konseling diharapkan setiap konflik yang terjadi dapat diatasi
sendiri oleh konseli. Dengan menggunakan segala kelebihan atau potensi
yang ada pada diri konseli. Seorang hanya mengarahkan dan membantu
mencari pilihan pemecahan masalah yang dialami oleh konseli bukan
menginterfensi diri konseli.
Sebagai contoh penerapan psikologi dalam bimbingan dapat dilihat pada
seorang penyuluh atau pembimbing yang sedang menangani masalah atau
kasus pada seseorang atau sekelompok orang tidak lain hal yang utama
dia lakukan adalah melihat dan mempelajari gejala-gejala manusia itu
sendiri baik dari fisik maupun psikisnya sehingga dapat memudahkannya
untuk mengambil tidakan selanjutnya sebagai solusi dalam memecahkan
suatu masalah agar seseorang atau sekelompok orang dapat menentukan
tingkah laku dan tindakan apa yang seharusnya mereka ambil. Begitupula
dengan konseling seorang konselor harus mampu mempengaruhi konselinya
untuk mengubah tingkah lakunya agar dapat memecahkan permasalahannya
melalui ilmu pengetahuan psikolognya.
Bimbingan dan konseling adalah segala kegiatan yang dilakukan oleh
seseorang dalam rangka memberikan bantuan kepada orang lain yang
mengalami kesulitan-kesulitan rohaniah dalam lingkungan hidupnya, agar
orang tersebut mampu mengatasi dirinya sendiri, sehingga timbul pada
diri pribadinya suatu cahaya harapan kebahagian hidup saat sekarang dan
masa depannya. Jadi jelas, bahwa sasaran bimbingan dan penyuluhan adalah
pemeberian kecerahan batin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar